Home » » MEREKA YANG BERJUANG DAN BERBAGI KEBAHAGIAAN

MEREKA YANG BERJUANG DAN BERBAGI KEBAHAGIAAN

Oleh Nuraini

Bahasa tulisan adalah bahasa kehidupan yang mampu merepresentasikan hidup seseorang, bahkan sebuah bangsa. Secara jelas, pada hal 29 penulis mengutip kalimat dari novel Pramudya AT “…seorang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Kalimat ini menjadi roh yang hendak ditularkan kepada pembaca.

Menulis menjadi identitas serta torehan yang bisa bersifat personal juga kolektif. Melalui kumpulan cerpen ini, penulis sedang mengajak pembaca untuk kembali/tetap menjadi diri sendiri sebagai manusia merdeka, yang otonom atas diri dan segala indentitas yang melekat sebagai manusia, warga negara, anak, ibu, pacar, dan seorang manusia tua.

Secara keseluruhan, buku cerpen ini merupakan cermin dari karakter masyarakat agraris Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke bawah yang hidup di pedesaan. Dari 10 cerpen, ada tiga cerpen yang seting ceritanya adalah masyarakat desa. Desa bagi penulis merupakan titik temu dari proses kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.

Dengan alur bertutur yang tidak selalu dapat ditangkap dengan mudah, karena pada beberapa cerpennya, penulis melakukan lompatan/periodisasi kisah. Cerpen Mimpi Raharja, menyodorkan cuplikan cerita seorang Raharja sebagai pemuda tanggung, lalu masuk tahun 1965 di mana ia menjadi korban politik yang dipenjara, hingga tahun 1977 di saat ia kembali menghirup udara bebas (hal 14).

Pada Mimpi Raharja, seorang petani tua yang merupakan bapak dari tokoh ‘Rahardja’ telah menampilkan wajah lain dari orang desa yang miskin/sederhana, tetapi pada tahap tertentu memiliki rasionalitas yang lazimnya dimiliki masyarakat modern. Baginya, untuk hidup lebih baik, bekerja yang giat adalah jawaban yang tidak bisa ditawar. Mimpi Raharja, ia ditafsirkan dengan lugas “…Jadi rajin-rajinlah belajar dan urus dengan baik kambing-kambingmu itu agar tahun depan kamu bisa masuk sekolah guru”. “Siapa mencari akan menemukan, dan siapa mengetuk pintu , pintu akan dibukakan” (hal 14). Kalimat ini merepresentasikan spirit dari penulis, yang berkeyakinan bahwa berusaha dan tetap optimis menjadi jalan menuju perubahan.

Pada cerpen ke-2, Lelaki Beranak Satu, penulis masih menjadikan desa/petani dengan persoalan petani sebagai alur utama. Di sini, sosok petani, ditampilkan cukup utuh sebagai manusia pejuang, yang mengerti bahwa hidup dan mati keluarga sangat bergantung pada keberaniannya berhadapan/menantang segala resiko, sekalipun harus bertaruh nyawa, “kalau tak panen bulan ini, lebih baik bertarung dengan petir sore ini” (hal 16). Bersumberkan pada pengetahuan yang didapat secara turun temurun, petani melanjutkan proses produksinya.

Kisah warga desa tidak selalu bercerita tentang sawah dan kambing, karena dalam buku cerpen ini, juga ditampilkan sisi lain tentang petani yang bersinggungan dengan masalah politik dan ideologi. Rahardja (hal 14) dalam Mimpi Rahardja, merupakan sosok warga desa yang mengalami pahitnya dari pertarungan politik ---yang belum tentu ia pahami secara utuh. Sedikit berbeda dengan seting cerita pada cerpen Pak Potret, lingkungan desa yang memang miskin, tetapi diimbuhi dengan keberadaan keluarga Mbah Bei sebagai orang kaya desa, semakin menjernihkan wajah desa. Relasi dari kompleksitas kehidupan desa yang di dalamnya ada kesenjangan sosial yang tajam, hanya dapat dicairkan pada musim panen dan ritual udhik-udhik (hal 22-23). Kedatangan Pak Potret mampu merubah suasana kebatinan warga desa yang merasa kecil, miskin, menjadi berani untuk berkunjung.

Gambar menjadi media yang mampu mengubah wujud kemanusiaan seseorang/sekelompok masyarakat untuk kembali menjalankan kehidupan sebagai manusia ---yang saling berinteraksi dan membutuhkan. Melalui Pak Potret, penulis telah menciptakan asumsi (yang telah terbukti), bahwa sebuah organisasi Lekra dalam konteks warga desa telah berkontribusi akan lahirnya kehidupan sosial desa yang lebih sehat (hal 26). Namun, dalam cerita ini, gambaran penulis mengenai anak bungsu Mbah Bei, sedikit mengganggu, karena perumpamaan sorot matanya yang tajam sebagai mata Nyi Blorong, menunjukkan kegalakan (tapi smoga asumsi ini keliru).

Tanpa berpretensi lebih jauh, pada beberapa bagian cerpen, tersembul kesadaran yang belum tuntas dari penulis mengenai relasi gender. Pada cerpen Mimpi Rahardja, adik perempuan Rahardja harus menjadi sosok yang dinomor duakan dalam hal sekolah (hal. 13). Pun begitu pada cerpen Lelaki Bernama Karsa, Karsa kecil ditampilkan sebagai jagoan yang siap berkelahi, dengan amarah yang dibesar-besarkannya, Karsa tak ingin menjadi pengecut, banci, dan perempuan (hal. 30). Perempuan diidentikkan sebagai kelompok yang sederajat dengan pengecut dan banci. Toh Karsa yang tangguh itu tidak sanggup menanggung rasanya terhadap perempuan yang ia cintai, ia tak bernyali dalam menyatakan rasanya yang terdalam. Namun, pada cerpen lain, penulis menampilkan perempuan sebagai sosok yang tangguh dan berperan dalam kehidupan.

Cerpen Adams dan Hawa, menampilkan dialog yang mengarah pada peran penting perempuan/ibu. “Nenek moyang kita sebenarnya penganut garis ibu….Ibu Pertiwi, ….Dewi Sri..” (hal 42). Demikian juga dalam cerpen Seorang Perempuan Tua, sosok perempuan tua yang bercerita mengenai kontribusinya dalam perjuangan, menjadi cerita penutup yang mengiyakan peran besar ibu dalam kehidupan.

Selebihnya buku ini bercerita mengenai suka-duka kehidupan anak muda dengan tumpahan emosinya, baik terhadap kekasih yang tak sampai (cerpen Lelaki Bernama Karsa), jiwa revolusioner anak muda yang berkuliah di sebuah kota di Jawa (Daun Jatuh), dan cerita-cerita lain yang disampaikan dengan potongan sejarah maupun kisah yang hidup di suatu masyarakat.

Hidup miskin tidak membatasi cakrawala yang semestinya memang dirangkul oleh setiap orang, pesan ini sangat jelas penulis sampaikan melalui tokoh Kakek Panyadap Tuak. Orang tua biasa-biasa saja, bisa berbagi dengan tulus, tak seperti kebanyakan elit politik di negeri ini yang hobinya menumpuk harta ---termasuk yang bukan menjadi haknya. Begitu juga dengan laki-laki tua yang berada di Pulau Jawa, juga memiliki cara dalam berbagi, ia bagikan becaknya kepada temannya yang membutuhkan, karena ia sudah tak membutuhkan lagi. “kebahagiaan yang sejati adalah selalu dalam perjuangan” (hal 69). Tukang becak yang berpolitik, menambah kaya buku ini yang berhasil tampilkan berbagai sosok yang memiliki peran di lingkungan sosialnya.

Rasa-rasanya buku ini lebih banyak bertutur tentang kisah dari penulis sendiri, tentang relasinya dengan banyak orang di banyak tempat. Dan Flores salah satunya adalah tempat yang pernah akrab dengan penulis, sehingga beberapa kisah ia sajikan melalui Malam yang Setia, dimana bougenville menjadi rekatan dari keromantisan orang-orang Timur dalam menikmati hidup. Membaca buku ini bagai melintasi mozaik sosial kita….

0 komentar:

Posting Komentar

We Love

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PARTAI KOMUNIS INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger