Murad
Aidit menuangkan kesaksiannya terhadap sang kakak dalam buku Aidit Sang
Legenda. Ia melukiskan Achmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit sebagai aktivis
yang habis-habisan membesarkan partai palu arit. Begitu sibuknya, Aidit kurang
memperhatikan segala kesulitan yang ia hadapi. ”Bang Amat,” begitu Murad
memanggil Aidit, ”adalah kakak yang sungguh tak dapat diharapkan.”
Ia
mencontohkan saat meminta uang biaya pernikahan, ia sama sekali tak diberi.
Tapi, pada saat yang lain, rasa kesal dan benci kepada Bang Amat tandas ketika
Murad tergolek lemah akibat TBC. Dokter memberi Murad obat TBC terbaru dari
Swiss, yang belum beredar di Indonesia. Adalah Aidit yang mendapatkan obat itu,
mengandalkan jaringan pertemanannya di luar negeri. Cerita pun mengalir. Aidit
kali ini disebut sebagai kakak yang sempurna.
Inilah
sepenggal kisah haru-biru hubungan kakak-beradik yang ditulis dalam buku 264
halaman yang terbit dua tahun lalu. Tak cuma Murad. Sobron Aidit, adik sepupu
Aidit, juga menulis beberapa buku. Begitu pula Ibarruri, putri tertuanya. Iba
menyebut sang ayah dalam buku Ibarruri Putri Alam yang terbit tahun lalu
sebagai ”manusia yang paling kucintai”.
Buku-buku
dari lingkaran terdalam keluarga Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia
itu tak mungkin bisa kita baca sepuluh tahun lalu. Kendati sudah mulai ditulis
belasan tahun lalu, buku-buku itu hanya teronggok di laci penulis. Kini, di era
reformasi, kata sejarawan Asvi Warman Adam, ”Kita bisa lebih mengenal sosok
Aidit dari sudut pandang personal.”
Ketika
mendengar berita kepastian tewasnya sang Ayah, misalnya, Iba menuliskan, ”Di
masa aku remaja, aku tiba-tiba kehilangan manusia yang paling kucintai, kukagumi,
yang menjadi teladan dalam cita-cita.” Ibarruri adalah nama pemberian Aidit
yang diambil dari nama pemimpin gerakan Komunis Internasional asal Spanyol,
Dolores Ibarruri. Dolores terkenal dengan aksi menentang diktator Spanyol,
Jenderal Franco.
Meski
memuji setinggi langit sang ayah, Iba menyebut Aidit sebagai ayah yang tak
mengerti merawat anak. Suatu kali di masa kecil, ia pernah menangis. Aidit yang
tak tahu kenapa anaknya menangis terus memberi minum hingga perutnya kembung.
Sejak
Soeharto tumbang, buku-buku yang berusaha ”membersihkan” sosok Aidit bebas
beredar. Tak hanya tulisan saudara dan anak—yang jelas lebih banyak memunculkan
sosok manusia Aidit dan dibumbui emosi karena kedekatan pada sang tokoh—tapi
juga penulis atau peneliti yang tak ada hubungan apa pun dengan Aidit. Buku Menolak
Menyerah; Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (2005) karya Budi Kurniawan
dan Yani Andriansyah boleh dikelompokkan dalam buku yang tak boleh terbit di
masa Orde Baru.
Dalam
buku itu, tak ada kesan dalang pembunuhan kejam dan bengis—sifat yang tertanam
pada sebagian besar benak orang Indonesia karena dijejali buku-buku sejarah
yang memojokkan Aidit—pada sosok politisi yang dikenal dekat dengan Soekarno
ini. Buku tersebut bahkan memuat informasi bahwa Aidit terkucilkan dari
peristiwa besar G30S/PKI. ”Yang terjadi adalah peristiwa di luar skenario
Aidit,” tulis Budi dan Yani. ”Terjadi penyingkiran ke Halim, yang mengakibatkan
terputusnya komunikasi.”
Kebanyakan
buku yang terbit di era Orde Baru memperkenalkan Aidit sebagai sosok yang
pantas dimusnahkan. Buku Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah
G30S/PKI yang ditulis Todiruan Dydo pada 1989 menyebut Aidit sebagai pemimpin
partai licik dan oportunis yang khawatir Angkatan Darat akan berkuasa setelah
Soekarno meninggal. Maka Aidit meniupkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta. Aidit pula yang memerintahkan penangkapan para jenderal.
Buku
ini menyebut Aidit sebagai sosok yang amat dekat dengan Soekarno, dan
memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingannya sendiri. Aidit dituding sebagai
orang yang selalu menjelek-jelekkan tentara di hadapan Soekarno. Ia bahkan
dituding sebagai sosok yang menyaring informasi yang akan disampaikan kepada
Presiden. Ketika itu, Presiden tidak bisa mengandalkan informasi intelijen
karena dalam kalangan tentara sendiri terjadi kesimpang-siuran akibat
penyusupan orang-orang PKI.
Aidit
adalah dalang G30S/PKI. Demikian buku kontroversial Siapa Menabur Angin
akan Menuai Badaiyang dikarang Soegiarso Soerojo pada 1988. Dituliskan bahwa
Aidit sebenarnya baru akan merencanakan kudeta pada 1970. Namun dokumen yang
berisi instruksi agar seluruh pimpinan PKI bersiap memuluskan rencana itu
bocor. ”Seperti disambar geledek di siang bolong, D.N. Aidit yang ketahuan
belangnya menjadi sangat marah,” tulis Soegiarso. Inilah yang membuat Aidit
mempercepat kudeta menjadi 1965.
Soetopo
Soetanto dalam kumpulan tulisan Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten
Komunismenyebutkan kelihaian Aidit memanfaatkan tentara untuk membunuh para
jenderalnya sendiri. ” Bahwa cara kerja PKI harus konspiratif,” demikian buku
ini mengutip konstitusi PKI yang merupakan ide Aidit. Pemimpin Politbiro PKI
ini pun memerintahkan infiltrasi ke tubuh militer. Para tentara yang sebelumnya
memiliki latar belakang PKI didekati dan dipakai untuk melancarkan kudeta 1965.
Dalam
Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Aidit digambarkan
sebagai sosok yang anti-Tuhan. Koran-koran berhaluan komunis memproklamasikan
Pancasila tanpa sila pertama. ”Juga dalam kesempatan berpidato di depan peserta
Pendidikan Kader Revolusi 1964, D.N. Aidit berkata bahwa sosialisme, kalau
sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tak lagi dibutuhkan sebagai alat
pemersatu,” begitu tertulis dalam buku keluaran Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan,
Jakarta.
Tribuana
Said dan D.S. Moeljanto dalam Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap
Gerakan PKImenceritakan buntut panjang pidato Aidit itu. Pers pun terbelah,
berbagai golongan mengecam Aidit. Pro-kontra berakhir setelah Wakil Perdana
Menteri Chaerul Saleh memerintahkan semua pihak menghentikan polemik pidato
tersebut. Aidit pun sempat mengatakan bahwa pidatonya dipelintir harian
Revolusioner, padahal ia tidak bermaksud mengatakan bahwa Pancasila tak lagi
diperlukan.
Ini
tak jauh berbeda dengan buku-buku pelajaran sekolah yang memuat versi
pemerintah Orde Baru. BukuSejarah Nasional Indonesia, misalnya,
jelas-jelas menyebut PKI dan Aidit sebagai dalang tunggal peristiwa 1965. Buku
yang antara lain dikarang oleh Nugroho Notosusanto itu menuai kontroversi
karena menghujat Soekarno dan menyanjung Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Di
buku itu, juga buku-buku pelajaran lain, digambarkan sosok Aidit yang kejam,
bengis, dan tak percaya pada Tuhan alias ateis.
Dalam
suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada Murad.
”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga
itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita
tahu, ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan
pernah tercatat sebagai pahlawan.
Sumber: TEMPO, No.
32/XXXVI/01-07 Oktober 2007
0 komentar:
Posting Komentar