Mohon
perhatian para pembaca kepada sebuah artikel dalam harian Sinar Harapan tanggal
24 Agustus 2011 yang berjudul « Dari Pemuda Proklamator ke
Koruptor », yang ditulis oleh Web Warouw, sebagai bahan renungan
Artikel tersebut adalah sebagai
berikut :
« Pemuda
macam apakah yang diharapkan bangsa kita? Apakah Anas Urbaningrum, Edi Baskoro
Yudhoyono (Ibas), ataukah Sri Mulyani Indrawati? Sebagai anak bangsa, pemuda
ditantang untuk bisa menjawab tuntutan zamannya.
Oleh
karena itu, penting untuk mengupas peran pemuda dari zaman ke zaman agar bisa
jadi pelajaran dan ukuran kepantasan.
Soe
Hok Gie dalam bukunya Di bawah Lentera Merah menjelaskan, di masa kolonial
Belanda kaum muda punya dua pilihan, mengabdi dalam struktur kekuasaan penjajah
atau mengorganisasi diri melawan penjajah. Untuk itu, lahirlah generasi awal
pergerakan Indonesia dalam Sarikat Islam pada 1912 yang sebelumnya bernama
Serikat Dagang Islam.
Di
dalamnya kaum muda menjawab penderitaan rakyat Indonesia dengan berbagai
pemogokan dan perlawanan yang dipimpin HOS
Tjokroaminoto (30 tahun), Alimin (23), Agus Salim (28), Tan Malaka (16), dan
Semaun (13)
Meski
demikian, politik saat itu tidak serta merta hitam putih. Luas dan tingginya
perlawanan berupa pemogokan dan demonstrasi membuat Belanda memenuhi tuntutan
Indonesia untuk berparlemen.
Pada
1918 sebagian pemuda di antaranya Tjokroaminoto (38), MH Thamrin (24), Agus
Salim (34), dan Abdul Muis (35) bergabung dengan Volksraad yang sejatinya
bukanlah parlemen, namun sebagai penasihat Gubernur Jenderal Belanda.
Badan
ini dibentuk Belanda dengan tujuan agar dapat mengendalikan radikalisasi di
kalangan pemuda. Saat itu, beberapa pemuda juga sudah mulai dibina menjadi
intel dan kaki tangan Belanda.
Parlemen
ciptaan itu gagal membendung perlawanan. Rakyat terus melawan sampai saat
pemberontakan nasional pertama oleh rakyat Indonesia pada November 1926 yang
dipimpin Semaun, Dharsono, dan Alimin.
Perjuangan
pemuda Indonesia bergelora kembali di masa fasisme Jepang. Kehidupan rakyat
semakin berat, mendorong pemuda memilih antara ikut Jepang atau Belanda. Dalam
metode perjuangan saat itu, ada yang melakukan agitasi propaganda mengobarkan
semangat perlawanan seperti Soekarno (41).
Ada
yang menyusup di Heiho dan PETA, seperti Supriadi (19) dan kawan-kawan. Ada
juga yang melancarkan perang gerilya melawan Jepang seperti Amir Sjarifuddin
(35), Sutan Sjahrir (33), dan Tan Malaka (47).
Puncak
dari perjuangan pemuda dan rakyat melawan Jepang dan kolonialisme Belanda
adalah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Proklamasi dilakukan Soekarno
(44) dan Moh Hatta (43).
Menjatuhkan
Soekarno
Situasi
politik setelah proklamasi kemerdekaan berubah-ubah sampai 1965. Namun, gelora
antipenjajahan di dalam Preambule UUD’45 terus membakar sikap anti
neokolonialisme dan imperialisme (nekolim).
Kebijakan
luar negeri Presiden Soekarno berhasil menggalang Konferensi Asia Afrika (KAA)
pada 1955 dan mendorong terbentuknya Gerakan Nonblok yangantineokolonialisme dan
imperialisme. Di dalam negeri Soekarno menggalang front nasional Nasakom
(Nasional Agama dan Komunis).
Tentu
saja musuh-musuh Soekarno di luar negeri merasa terganggu sehingga berkali-kali
mencoba menjatuhkan Soekarno. Beberapa persiapan dilakukan, termasuk di
kalangan pemuda dan mahasiwa. Pater Beek yang pada saat itu sudah menjalin
hubungan dengan TNI mendapat tugas mengumpulkan para pemuda untuk menggalang
gerakan anti-Soekarno.
Lewat
kudeta militer 1965 Soekarno berhasil dicongkel dan Soeharto merebut kekuasaan
yang didukung pemuda dan mahasiswa. Para pemuda tersebut di antaranya adalah
Akbar Tanjung (20), Cosmas Batubara (27), Hari Tjan Silalahi (31), Arief
Budiman (24), dan Soe Hok Gie (23).
Namun
Soeharto yang didukung angkatan 66 itu harus berhadapan dengan gelombang
perlawanan pemuda yang bersatu dengan rakyat. Selama 30 tahun Soeharto berkuasa
dengan militerisme telah melahirkan perlawanan rakyat yang yang dipelopori
pemuda mahasiswa sejak zaman Hariman Siregar (36) pada peristiwa Malari
197
Diikuti
perlawanan Mahasiswa yang dipimpin Indro Tjahjono (28) pada 1978. Kemudian Orde
Baru Soeharto berhasil diakhiri di masa Budiman Sujadmiko (26) pada
1996-1998.
Politik
Uang
Lain
lagi di masa Reformasi yang dipenuhi kepentingan partai politik (parpol),
setiap pemuda dituntut bisa mendapat simpati pemilihnya. Tujuannya agar bisa
menjadi anggota parlemen atau berebutan posisi elite partai. Untuk mencapai
tujuan itu tidak mudah, karena membutuhkan modal dana yang tidak sedikit.
Perjuangan
pemuda yang tadinya demi kepentingan rakyat telah didominasi politik elite
dengan modus mengeruk sebanyak-banyaknya dana untuk memperkaya diri dan partai.
Saat
ini, alat perjuangan pemuda adalah mengumpulkan dukungan dengan politik uang
dan dari politik pencitraan. Sasarannya adalah kursi di DPR, kepala daerah,
menteri, dan mungkin presiden.
Memang
masih ada segelintir pemuda yang percaya bahwa perjuangan harus dilakukan
dengan menumbangkan penguasa. Segelintir lagi berjuang secara sukarela melayani
rakyat yang hidupnya semakin susah.
Tentu
saja buat pemuda seperti Anas Urbaningrum, Ibas, atau Sri Mulyani sudah tidak
membutuhkan perjuangan keras seperti para pemuda pendahulunya. Dengan bermodal
uang saat ini semua posisi bisa dibeli, termasuk kursi kepresidenan 2014. Yang
penting tidak ketahuan seperti Nazaruddin kalau uang tersebut dari hasil
korupsi anggaran negara. (Kutipan
tulisan Web Warouw selesai)
Komentar:
Walaupun dalam tulisan bagus di
atas terdapat hal-hal yang kurang akurat (umpamanya, antara lain :
tahun-tahun), namun isi atau semangat yang menjiwainya adalah menarik sekali
untuk diperhatikan oleh kita semua, karena pentingnya.
Dalam
tulisan ini telah diangkat betapa besar arti peran perjuangan orang-orang muda
seperti yang telah ditunjukkan oleh HOS Tjokroaminoto, Alimin, Agus Salim, Tan
Malaka , dan Semaun untuk menggerakkan semangat perlawanan terhadap penjajahan
Belanda., semasa didirikan Serikat Islam.
Juga
diangkat peran tokoh-tokoh komunis seperti Semaun, Dharsono, Alimin dalam
pembrontakan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda dalam tahun 1926.
Semangat perlawanan para pemuda itu diteruskan selama pendudukan fasisme
Jepang, oleh (antara lain) Amir Syarifudin, Sutan Syahrir, Tan Malaka,
Supriyadi.
Peran
pemuda ini menjadi memuncak ketika menjelang dan sesudah proklamasi 17 Agustus
oleh Soekarno-Hatta. Dan, kemudian, di bawah pimpinan Bung Karno
semangat pemuda pada umumnya masih tetap berkobar-kobar berkat politiknya yang
anti-imperialis (terutama AS) , yang tercermin dalam konferensi Bandung,
gerakan solidaritas Asia-Afrika, menyokong perjuangan rakyat Palestina dan
Vietnam, poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, pembebasan Irian Barat.
Sayangnya,
peran dan semangat perjuangan para pemuda ini kemudian merosot atau jauh
mundur sekali sejak Bung Karno digulingkan secara khianat oleh Suharto dengan
menggerakkan sebagian kalangan muda (antara lain : KAMI, KAPPI, HMI) dalam
macam-macam aksi-aksi dan demonstrasi.
Sejak
waktu itulah, di Indonesia muncul kalangan muda yang anti ajaran-ajaran
bung Karno, yang anti-revolusi rakyat, yang reaksioner, yang pro-Barat
(terutama AS), anti-sosialisme atau anti-komunisme. Sejak itu pulalah
hilang peran kalangan muda Indonesia di berbagai bidang kehidupan bangsa
Indonesia. Sejak itulah pembusukan atau degenerasi dan degradasi kalangan muda
mulai tampil secara besar-besaran dan kontinyu. (Sampai
sekarang !!!).
Dalam
jangka lama sekali (lebih dari 32 tahun) justru kalangan muda yang semacam
itulah yang kemudian direkrut oleh Orde Baru untuk menduduki birokrasi dan
kehidupan politik, sosial, ekonomi di seluruh Indonesia (di samping tokoh-tokoh
militer), dan menduduki tempat-tempat penting juga di Golkar atau
di partai-partai politik lainnya.
Oleh
karena itu, kiranya kita bisa melihat terjadinya kerusakan atau
kebobrokan di banyak bidang kehidupan bernegara dan berbangsa dewasa ini juga
dari sudut ini. Bahwa kebejatan moral pimpinan (atau tokoh-tokoh) di
berbagai lembaga dan aparat negara (dan partai-partai politik) dewasa ini
adalah produk atau akibat dari dihancurkannya jiwa dan ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno oleh pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) beserta
golongan-golongan reaksioner lainnya, dengan kerjasama dan bantuan
imperialisme negara-negara Barat.
Ini
semua dapat kita sakskan selama puluhan tahun sejak merajalelanya korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan (dan pelangggaran berat HAM) selama Orde
Baru, yang diteruskan oleh kasus BLBI, Bank Century, kasus Gayus Tambunan, dan
kasus Nazaruddin-Anas Urbaningrum-Partai Demokrat dewasa ini.
Sekarang
kita bisa menyaksikan sama-sama bahwa kejahatan dan dosa-dosa besar yang
dilakukan oleh Orde Baru (beserta para pendukungnya) bukan hanya
penggulingan (sekali lagi : secara khianat !!!) terhadap Bung Karno
dan pembunuhan secara massal dan biadab jutaan warganegara -- yang tidak
bersalah atau tidak berdosa apa-apa -- , melainkan juga terutama sekali
pengrusakan dan pembusukan generasi muda.
Sejak
Orde Barunya Suharto generasi muda bangsa kita dididik mulai dari Sekolah Dasar
sampai perguruan tinggi dengan cekokan segala macam doktrin yang jauh dari
patriotisme kerakyatan, terlepas dari nasionalisme revolusioner,
berlawanan dengan semangat mengabdi kepada bangsa, dan bertentangan dengan jiwa asli Pancasila dan Bhinneka
Sejak
itu, generasi muda – yang sekarang ini banyak yang memperoleh kedudukan
penting dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat, pada umumnya tidak
mendapat pendidikan politik dan moral sebagai bagian penting dari nation and
character building. Kebanyakan di antara mereka hanya menjadi pengejar
kedudukan yang serba enak, mendapat gaji yang baik, dan mengumpulkan kekayaan
(walaupun dengan cara-cara haram dan melalui korupsi). Mereka tidak peduli
lagi kepada penderitaan puluhan juta rakyat miskin yang sekarang masih tetap
terdapat di seluruh daerah negara kita.
Gejala
semacam ini tercermin dalam hidup dan tingkah laku kalangan elite bangsa,
yang menjadi pembesar-pembesar dan anggota DPR atau DPRD, yang tersangkut dalam
banyak korupsi, dan diselidiki oleh KPK dewasa ini.
Mengingat
betapa besarnya kerusakan mental dan seriusnya kebobrokan moral di
kalangan elite (yang sebagian terbesar terdiri kalangan muda seusia
Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Ibas) yang sudah membusukkan kehidupan bangsa
selama puluhan tahun, maka wajarlah kalau ada orang-orang yang menjadi pesimis
apakah mungkin ada perubahan atau perbaikan dalam waktu dekat yang akan datang.
Banyaknya
mafia hukum dan peradilan (di Jakarta dan di seluruh Indonesia),
kebejatan di kalangan pimpinan Polri dan Kejaksaan, keruwetan yang terjadi di
KPK, tingkah-laku wakil-wakil partai politik di DPR dan DPRD semuanya
mengindikasikan bahwa negara dan bangsa kita akan tetap terus mengalami
pembusukan yang berjangka panjang.
Apalagi,
dengan pemerintahan sejenis yang dipimpin SBY sekarang ini, yang
menurut surat-surat rahasia Kedutaan Besar AS yang dibocorkan Wikileaks adalah
terdiri dari orang-orang yang dekat dengan Amerika, maka sedikit sekali
kemungkinan adanya politik negara dan bangsa kita, yang sungguh-sungguh anti
neo-liberalisme dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat banyak.
Tetapi,
banyaknya ketidakadilan dan luasnya penderitaan orang banyak di Indonesia, dan
merajalelanya kejahatan yang berbentuk korupsi, semuanya itu menimbulkan
perlawanan, dan menciptakan kemauan bersama untuk terjadinya perubahan menuju
perbaikan.
Tanda-tanda
ke arah itu sudah dan sedang ditunjukkan oleh berbagai kalangan generasi muda
yang anti Orde Baru, dan yang melihat tak ada jalan lain, kecualimeneruskan revolusi yang belum
selesai, menurut ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.
A.
Umar Said
0 komentar:
Posting Komentar