Oleh : Marta Harnecker
Varietas reformisme
Di satu pihak, hal-hal berikut dapat digunakan sebagai indikasi
penyimpangan reformis:
Pertama: kecenderungan memoderasi program dan inisiatif tanpa
menawarkan “proposal alternatif terhadap tatanan yang ada”, membenarkan hal ini
dengan argumen – sebagaimana dianalisa di atas – bahwa politik adalah seni
tentang apa yang mungkin.
Kedua: bukannya menginvestasikan waktu dan upaya untuk membakar
semangan memberontak dan melawan, justru secara konstan menyerukan kepada
‘pimpinan serikat buruh dan gerakan pekerja untuk menunjukkan sikap yang
bertanggung-jawab dan dewasa. Ini termasuk mencoba menyalurkan upaya mereka ke
dalam negosiasi dan kesepakatan yang meragukan di tingkatan atas dan
menghindari demonstrasi-demonstrasi penuh perlawanan dengan alasan tidak mau
membuat kekacauan dalam aparat negara atau mengobrak-ngabrik demokrasi yang
kelahiran kembalinya telah susah payah diperjuangkan.
Slogan oportunistik ‘jangan buat kegemparan’ jelas-jelas
menyatakan situasi ini. Dan, sebagaimana dikatakan oleh Carlos Vilas: ‘bukannya
mendorong pencarian alternatif secara kreatif, slogan ini justru berfungsi memblokir
semua proyek untuk perubahan dan mengadaptasi muatan dan lingkupnya ke
ruang-ruang yang ditolerasi oleh sistem institusional….’
Ketiga: kecenderungan untuk bekerja secara pasif dalam institusi
yang ada, tanpa berjuang untuk merubahnya atau merubah aturan mainnya.
Berapa kali telah kita dengar kaum Kiri mengeluhkan tentang
kondisi tak menguntungkan yang harus dihadapinya dalam pemilihan setelah
menyadari bahwa ia telah gagal mencapai hasil yang diharapkan saat pemungutan
suara? Namun, kaum kiri ini pula sangat jarang mengecam aturan main selama
kampanye pemilihan atau menyertakan reformasi elektoral dalam platform mereka.
Justru sebaliknya; yang sering terjadi adalah dalam memburu suara, kaum Kiri,
bukannya melancarkan kampanye yang mendidik dan instruktif yang membantu rakyat
mengembangkan organisasi dan kesadarannya, justru menggunakan metode yang sama
untuk menjual kandidatnya seperti yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa.
Ini artinya ketika kaum Kiri menderita kekalahan elektoral,
kampanye mereka tidak hanya meninggalkan frustasi, keletihan dan utang; upaya
pemilu gagal menciptakan pertumbuhan politik bagi mereka yang bekerja dan
mendukung kampanye, tapi meninggalkan kepahitan bahwa segalanya sia-sia.
Situasi ini akan sangat berbeda bila kampanyenya direncanakan dari sudut
pandang yang secara fundamental mendidik-instruksional, menggunakannya untuk
memperkuat kesadaran dan organisasi kerakyatan. Dalam kasus tersebut, bahkan
bila hasil pemilu jauh dari memuaskan, waktu dan upaya yang diinvestasikan dalam
kampanye tidaklah hilang.
Kecenderungan untuk beradaptasi kepada posisi tengah tertentu
tidak saja mengekang tindakan; menurut Carlos Vilas, itu juga menciptakan
‘perubahan internal dalam orientasi ideologi seseorang, dalam proposal program,
dan dalam lingkup tindakannya’.
Tantangan umum yang dihadapi kaum Kiri institusional
Kemajuan institusional kaum Kiri sudah tak terbantah lagi, tapi
kita tidak boleh melupakan bahwa perangkat institusi demokratik yang ada tidak
saja memberikan keuntungan, tapi juga menerapkan batasan-batasan. Sebagaimana
dikatakan Enriquo Rubio, tantangan terbesar yang kita hadapi adalah menemukan
bagaimana ‘memaksimalkan yang awal (keuntungan) dan meminimalkan yang terakhir
(batasan)’. Kita harus juga menemukan bagaimana mempersatukan kekuatan-kekuatan
yang menghendaki perubahan dan tidak menginginkan tatanan yang ada – khususnya
karena berpartisipasi dalam institusi borjuis saja berarti kita
melegitimasikannya dalam batas-batas tertentu – dan bagaimana membangun sebuah
‘perangkat institusi alternatif’ melalui aksi-aksi ‘beragam aktor-aktor sosial
dan politik’.
Maka, terdapat banyak tantangan yang dihadapi kaum Kiri sebelum ia
dapat – dengan menggunakan institusi yang ada – berhasil mengakumulasi dukungan
untuk perubahan dan bukan untuk memelihara status quo.
Bagaimana menghindari terseret dalam praktek politik tradisional
Bagaimana menghindari terseret dalam praktek politik tradisional
Salah satu tantangan ini adalah upaya yang besar harus dilakukan
untuk menghindari terseret dalam praktek politik tradisional. Ini dapat
dilakukan dengan mengembangkan praktek-praktek baru yang jelas-jelas
menunjuukkan perbedaan antara cara beroperasinya partai-partai kerakyatan dan
partai politik lainnya. Inilah satu-satunya cara untuk memenangkan dukungan
publik yang semakin skeptis terhadap politik dan politikus.
Kedua, kaum Kiri harus menghindari terseret dalam deformasi
praktek politik borjuis
Salah satu deformasi ini adalah karirisme politik, yakni gagasan
bahwa seseorang harus naik melalui tingkatan jabatan, bahwa kembali menjadi
sekedar anggota biasa dalam partai adalah suatu kemerosotan. Seringkali
organisasinya sendiri membenarkan sikap ini dengan alasan bahwa investasi yang
dilakukan dalam mendidik kader tidak dapat disia-siakan.
Dalam subyek ini, kebijakan kader yang diterapkan di Porto Alegre
cukup menarik. PT (Partai Buruh) kini telah menjawab di sana selama tiga masa
jabatan. Mereka telah merotasi kader antara aparat administratif, partai dan
gerakan kerakyatan; dengan cara ini, pengalaman yang diraih dalam salah satu
bidang ini ditransfer ke lainnya. Ini secara khusus berguna dalam kasus kader
yang telah mendapat pengalaman administratif.
Sikap berbahaya lainnya adalah memilih ‘lingkaran keraton’
daripada bekerja sebagai jajaran anggota. Sebagaimana dikatakan Lula, beberapa
tahun setelah dipilih menjadi presiden Brasil, terdapat kader yang ‘tergoda
oleh parfum kaum elit dan kini tidak tahan mencium bau rakyat’. Mereka sering
hanya bergantung pada tembok-tembok birokratis untuk menghindari kontak
langsung dengan rakyat dan cenderung menerima informasi mereka dari
kelompok-kelompok penasehat, sehingga kehilangan kesempatan untuk merasakan
denyut kehidupan rakyat. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa tirai
disinformasi terkuat diciptakan oleh mereka yang bertugas untuk memberikan
informasi. Para ‘penasehat’ ini memiliki kebiasaan menekankan yang positif dan
menghapuskan yang negaitf, baik atas motif yang mulia karena tidak mau terlalu
membebankan mereka yang menerima nasehat dengan kecemasan atau atas kehendak
egois pujian karena membawa berita bagus. Deformasi lainnya adalah menggunakan
partai sebagai trampolin (pijakan) bagi kemajuan pribadi dan pers sebagai alat
untuk menghiasi diri dan mempromosikan diri – padahal partai dan pers
seharusnya adalah alat untuk perjuangan ideologi melawan mereka yang menindas
rakyat. (bersambung
0 komentar:
Posting Komentar